![]() |
pic source: pinterest.com |
"Self-love seems so often unrequited." —Anthony Powell
Saya pikir, saya selalu berhasil mencintai diri sendiri dan menerima segala kekurangan yang saya miliki. Saya selalu mencintai segala hal yang pernah menempel pada setiap inchi tubuh saya. Seluruhnya. Tanpa kecuali. Saya pikir begitu.
Hingga beberapa waktu lalu saya sampai di satu titik. Di sinilah titik balik segalanya, ketika saya yang selalu merasa menerima diri saya sendiri mendadak berputar 180 derajat menjadi membenci diri saya seluruhnya. Pada titik ini, saya mengetahui bahwa saya tidak pernah benar-benar mencintai diri saya sendiri. I'm just pretending for loving myself and hiding the fact I hate myself. Yes, right, I hate myself. Saya membenci diri saya yang masih tidak bisa sepenuhnya mencintai diri sendiri tapi selalu berpura-pura bahwa sayalah orang paling legowo yang sanggup menerima diri.
Di titik ini, saya sangat membenci diri saya. Selama ini saya menyadari bahwa tidak ada orang-orang yang sepenuhnya bisa menjadi tempat bergantung, saya menyadari bahwa hanya diri sayalah satu-satunya sosok yang akan selalu ada untuk diri saya. Namun, bagaimana kalau sebenarnya saya sendiri bahkan tidak sepenuhnya menerima diri saya sendiri? Hal itulah yang membuat saya membenci diri saya. Bisa-bisanya saya tetap percaya pada sosok yang bahkan tidak sepenuhnya menerima siapa saya. Saya membenci diri saya yang mempercayai diri saya yang membenci diri saya. Paham tidak? Baiklah, sebuah iterasi tanpa batas.
Mendadak kebencian-kebencian kecil mengenai diri saya yang dulu selalu saya abaikan menyeruak. saya mulai memaki diri saya sendiri. Terus menerus, bahkan saya merasa selamanya akan terus memaki diri saya sendiri. Kesalahan-kesalahan di masa lalu yang sudah mulai saya maafkan pun turut berpartisipasi dalam kekacauan ini. Segalanya kacau. Semua. Tak terkecuali.
Dalam diri saya penuh sekali dengan pikiran-pikiran negatif. Pikiran positif yang dulu mati-matian saya bangun, seketika saat itu juga luruh menjadi sesuatu yang negatif. Mendadak saya punya suatu bakat baru saat itu: mengubah segala hal tentang diri saya menjadi pikiran negatif.
Self-blaming kala itu seakan tidak ada habisnya. Saya selalu menemukan sesuatu untuk saya maki-maki sampai lelah dan bosan mengatakannya pada diri saya. Ya, pada titik itu saya mulai lelah dan bosan dengan memaki diri saya.
Kewarasan yang sempat menghilang itu perlahan mulai kembali. Membenci diri saya seperti ini tak akan ada habisnya. Saya tidak akan mendapat apa-apa kecuali perasaan-perasaan negatif yang terus menerus datang. Kebencian itu juga pada akhirnya hanya menjadi perasaan satu arah. Ketika dimaki, saya tidak pernah membalas makian itu. Saya hanya menerimanya. Lalu makian berikutnya akan keluar dan terus berulang.
Bukankah pada akhirnya saya terlalu sibuk membenci tanpa mendapat sesuatu yang berarti?
Bagaimana seandainya saya berusaha mencintai diri saya serupa saya membenci diri saya, berusaha mencintai karena fakta saya sebenarnya hanya berpura-pura membenci untuk menunjukkan cinta pada diri saya? Sama saja. Dalam artian positif tentunya. Saya sama-sama tidak mendapat balasan apa-apa. Saya sama-sama terus menemukan sesuatu dalam diri untuk saya cintai dan menunjukkan kepura-puraan membenci diri saya. Saya membuktikan bahwa sebenarnya saya sudah sepenuhnya legowo dengan segala hal negatif dalam diri saya. Bedanya, saya mendapat energi positif lebih banyak daripada kebencian yang melelahkan.
Sederhananya begini, saya menyadari diri saya membenci berpura-pura mencintai diri saya. Padahal, bisa saja sebenarnya saya mencintai diri saya yang berpura-pura membenci diri saya. Self-love dan self-blaming adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Semua orang mencintai dan membenci diri mereka dengan cara dan porsinya masing-masing. Berpura-pura membenci untuk mencintai diri sendiri, serta sebaliknya, adalah cara dan porsi yang saya pilih.
Pada akhirnya, self-blaming and self-love are true unrequited feeling. Keduanya sama saja, dan semua orang pasti memiliki kedua hal itu. Kedua hal itu adalah dua mata koin yang ada dalam diri kita tanpa bisa dipisahkan.
Does every positive always attract negative, and vice versa?
Mendadak kebencian-kebencian kecil mengenai diri saya yang dulu selalu saya abaikan menyeruak. saya mulai memaki diri saya sendiri. Terus menerus, bahkan saya merasa selamanya akan terus memaki diri saya sendiri. Kesalahan-kesalahan di masa lalu yang sudah mulai saya maafkan pun turut berpartisipasi dalam kekacauan ini. Segalanya kacau. Semua. Tak terkecuali.
Dalam diri saya penuh sekali dengan pikiran-pikiran negatif. Pikiran positif yang dulu mati-matian saya bangun, seketika saat itu juga luruh menjadi sesuatu yang negatif. Mendadak saya punya suatu bakat baru saat itu: mengubah segala hal tentang diri saya menjadi pikiran negatif.
Self-blaming kala itu seakan tidak ada habisnya. Saya selalu menemukan sesuatu untuk saya maki-maki sampai lelah dan bosan mengatakannya pada diri saya. Ya, pada titik itu saya mulai lelah dan bosan dengan memaki diri saya.
Kewarasan yang sempat menghilang itu perlahan mulai kembali. Membenci diri saya seperti ini tak akan ada habisnya. Saya tidak akan mendapat apa-apa kecuali perasaan-perasaan negatif yang terus menerus datang. Kebencian itu juga pada akhirnya hanya menjadi perasaan satu arah. Ketika dimaki, saya tidak pernah membalas makian itu. Saya hanya menerimanya. Lalu makian berikutnya akan keluar dan terus berulang.
Bukankah pada akhirnya saya terlalu sibuk membenci tanpa mendapat sesuatu yang berarti?
Bagaimana seandainya saya berusaha mencintai diri saya serupa saya membenci diri saya, berusaha mencintai karena fakta saya sebenarnya hanya berpura-pura membenci untuk menunjukkan cinta pada diri saya? Sama saja. Dalam artian positif tentunya. Saya sama-sama tidak mendapat balasan apa-apa. Saya sama-sama terus menemukan sesuatu dalam diri untuk saya cintai dan menunjukkan kepura-puraan membenci diri saya. Saya membuktikan bahwa sebenarnya saya sudah sepenuhnya legowo dengan segala hal negatif dalam diri saya. Bedanya, saya mendapat energi positif lebih banyak daripada kebencian yang melelahkan.
Sederhananya begini, saya menyadari diri saya membenci berpura-pura mencintai diri saya. Padahal, bisa saja sebenarnya saya mencintai diri saya yang berpura-pura membenci diri saya. Self-love dan self-blaming adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Semua orang mencintai dan membenci diri mereka dengan cara dan porsinya masing-masing. Berpura-pura membenci untuk mencintai diri sendiri, serta sebaliknya, adalah cara dan porsi yang saya pilih.
Pada akhirnya, self-blaming and self-love are true unrequited feeling. Keduanya sama saja, dan semua orang pasti memiliki kedua hal itu. Kedua hal itu adalah dua mata koin yang ada dalam diri kita tanpa bisa dipisahkan.
Does every positive always attract negative, and vice versa?